Kondisi keagamaan, politik, ekonomi, sosial dan moral arab jahiliyah
yang buruk, tentu sudah banyak orang yang mendengar, walaupun keburukan
tersebut tidak sebanding dengan hancurnya peradaban bangsa lain di
sekitar jazirah arab, seperti Byzantium, Persia, dan India. Bagaimana
peperangan diantara kabilah-kabilah, kemusyrikan mereka, dan sebagainya,
tidak perlu lagi diceritakan disini.
Akan tetapi, tidak semua masyarakat Arab jahiliyah jahat, biadab, dan
berkarakter negatif. Banyak juga dari mereka yang baik, tidak berzina,
tidak minum khamr, tidak menumpahkan darah, tidak berbuat zalim, tidak
memakan harta anak yatim, dan bersih dari transaksi riba. [1] Terdapat
karakter positif yang menjadi modal tegaknya panji Islam. Di antaranya
adalah :
Pandai dan Cerdik
Hati mereka bersih dan belum terkontaminasi oleh filsafat, mitos dan
khurafat, tidak seperti masyarakat India, Romawi dan Persia yang hatinya
telah terjangkit penyakit-penyakit tersebut. Berbeda dengan mereka,
kepolosan hati benar-benar layak untuk mengemban risalah agung. Mereka
adalah sebagian masyarakat Arab jahiliyah yang masih terpelihara. Islam
mengarahkan tabiat pandai dan cerdik mereka untuk melindungi dan membela
Islam. Daya pikir dan fitrah tertanam dalam diri mereka, sehingga tidak
terjerumus dalam filsafat yang kosong, perdebatan bodoh ala Romawi dan
aliran ilmu kalam yang membingunkan.[2]
Bahasa Arab yang kaya menunjukkan bahwa mereka memiliki hafalan dan ingatan yang tajam. Bayangkan kata
al-’asl (madu) memiliki 80 kosa kata, kata
ats-tsa’alab (rubah) memiliki 200 kosa kata, bahkan kata
ad-dahiyah (petaka)
memiliki 4000 kosa kata. Tidak diragukan lagi kosa kata yang begitu
banyak dan luas pasti membutuhkan ingatan yang kuat, tajam dan
brilian.[3]
Saking pandai dan cerdasnya mereka, sehingga mereka dengan mudah
memahami sebuah isyarat, terlebih lagi sebuah frase atau untaian
kata.[4]
Dermawan dan Murah Hati
Karakter ini sangat mengakar pada diri masyarakat
Arab. Misalkan salah seorang dari mereka hanya memiliki seekor unta,
kemudian datanglah tamu kepadanya, maka ia tidak segan-segan
menyembelihnya untuk dijadikan jamuan. Mereka tidak hanya menyuguhkan
jamuan kepada manusia, tapi juga memberikan makanan kepada hewan liar.
Bahkan kemurahan hati atau kedermawanan Hatim Ath-Tha’i telah diakui
oleh para kafilah dagang. Seperti yang saya tonton dalam serial Omar di
MNC TV menjelang subuh, dimana Umar bin Al-Khaththab begitu pemurah
berbagi air dengan kafilah yang lain, padahal saat itu ia belum masuk
Islam. Dan masih banyak lagi kemurahan hati orang Arab yang bisa
dijadikan teladan.
Pemberani dan Ksatria
Mereka menyanjung orang yang matinya di medan
perang, dan mecela mereka yang matinya diatas ranjang. Manakala
seseorang mendengar berita kematian saudaranya, maka ia akan berujar,
“Jika seseorang terbunuh, maka ayahnya, saudaranya, atau pamannya yang
akan membalaskan kematiannya. Demi Allah, sesungguhnya kami tidak ingin
mati secara wajar, kami ingin mati di ujung tombak atau mati di bawah
kilatan pedang.”
Masyarakat Arab jahiliyah tidak akan pernah memberikan apa pun, jika
hal itu mengorbankan kemuliaan, harga diri dan istri. Mereka menganggap
dirinya hina jika sampai hal ini terjadi.
Fitrah masyarakat Arab adalah pemberani dan sangat menjaga harga
diri. Mereka tidak mau ada orang yang kuat menindas yang lemah, wanita,
atau orang tua. Ketika ada seseorang meminta bantuan kepada mereka, maka
mereka bersegera membantunya. Bagi mereka suatu kehinaan jika tidak
membantu orang yang meminta pertolongan.
Kerinduan Masyarakat Arab pada Kebebasan
Secara fitrah, orang Arab sangat merindukan kebebasan. Ia ingin hidup
merdeka dan rela mati demi memperjuangkan kemerdekaan. Ia ingin hidup
bebas tanpa ada kekuasaan yang mengaturnya. Ia juga tidak rela harga
dirinya diinjak-injak, meskipun nyawa taruhannya. Mereka menolak
ketidakadilan, tidak mau dihinakan, sebagaimana contoh berikut.
Suatu ketika Amr bin Hind, Raja Al-Hirah duduk bersama para
sekutunya, lalu ia bertanya kepada mereka, “Apakah kalian pernah
mengetahui ada salah satu orang Arab yang ibunya menolak jika menjadi
pesuruh?” Mereka berkata, “Ya, kami tahu, dia adalah ibunya Amr bin
Kultsum, si penyair hina.”
Raja kemudian memanggil Amr bin Kultsum agar menghadap dirinya. Lalu
sang raja juga memanggil ibundanya untuk menemui ibunya Amr bin
Kultsum. Sebelumnya sang raja telah bersepakat dengan ibundanya agar
mengatakan sesuatu kepada ibunya Amr bin Kultsum setelah ia menikmati
jamuan makan, agar ia berkata, “Tolong ambilkan wadah yang ada di
sampingmu.” Benar ketika ibunya Amr bin Kultsum datang dan selesai
menikmati jamuan, maka ibunda sang raja berkata sebagaimana
direncanakan. Maka ibunda Amr bin Kultsum berkata, “Hendaklah yang
membutuhkan sesuatu mengerjakan apa yang menjadi kebutuhannya.” Ibunda
raja yang kesal mengulang permintaan dengan sedikit memaksa dan
memerintah. Maka ibunda Amr bin Kultsum berteriak, “Hai beraninya kamu
menghina Bani Taghlib!” Amr pun sempat mendengar teriakan ibunya dan
marahlah ia melihat ibunya diperlakukan dengan hina. Secepat kilat ia
merebut pedang milik sang raja yang tergantung dan mengayunkannya ke
kepada sang raja, Amr bin Hindun.[5]
Menepati Janji, Terbuka, Terus Terang dan Jujur
Mereka enggan berbohong dan menganggapnya aib. Mereka juga enggan
ingkar janji. Oleh karena itu, kesaksian (syahadat) mereka dengan lisan
sudah dianggap cukup bahwa mereka telah memeluk Islam. Keengganan mereka
untuk berbohong bisa dibuktikan melalui kisah Abu Sufyan saat diundang
Heraklius untuk ditanya mengenai Rasulullah. Abu Sufyan berkata,
“Kalaulah aku tidak malu pada orang-orang disekitarku tentang Muhammad,
pastilah aku akan berbohong.”[6]
Ada pun sifat orang Arab yang menepati janji bisa dibuktikan melalui
perkataan An-Nu’man bin Al-Mundzir kepada Kisra (penguasa Persia),
“Sesungguhnya lirikannya atau anggukannya merupakan ikatan janji yang
tidak bisa ia lepaskan sampai nafas terakhirnya. Kayu yang sempat ia
pungut dari tanah menjadi hutang baginya yang tidak mungkin ia miliki
atau ia pendam begitu saja. Manakala ia dapati seseorang meminta
perlindungan padanya meskipun orang itu jauh dari rumahnya dan ia
terbunuh, maka ia tidak akan rela sehingga ia menumpas kabilah yang
telah membunuhnya. Seorang penjahat bisa saja berlindung kepada mereka
tanpa harus diketahui siapa dia dan apakah ia bagian dari kerabatnya
atau bukan.[7]
Menepati janji merupakan sifat dasar masyarakat Arab, kemudian Islam
datang dan mengarahkan sifat tersebut ke jalan yang benar. Islam tidak
mentolerir siapa pun yang mencoba membuat hal-hal baru (mengada-ada),
meskipun ia memiliki kedudukan atau dari keluarga terhormat. Nabi
bersabda, “
Allah melaknat orang yang berupaya melindungi orang yang membuat hal baru (mengada-ada)“.[8]
Ada beberapa kisah mengenai sifat mulia masyarakat Arab ini
diantaranya:[9] Suatu ketika Harits bin ‘Ubbad memimpin kabilah Bakar
untuk berperang melawan kabilah Taghlib yang dipimpin oleh Al-Muhalhal
yang ditenggarai membunuh anaknya Harits. Alkisah Harits tidak tahu dan
tidak mengenal sosok Muhalhal, lalu Harits menangkap seseorang dan
bertanya mengenai keberadaan Muhalhal, padahal orang tersebut adalah
Muhalhal itu sendiri. “Tunjukkan kepadaku dimana Muhalhal bin Rabi’ah
dan setelah itu aku akan membebaskanmu.” Bentak Harits. Orang itu
kemudian menjawab, “Kamu harus berjanji untuk melepaskanku, jika aku
menunjukkan keberadaan Muhalhal.” Harits menjawab, “Ya.” Dengan sigap
orang itu menjawab, “Aku lah Muhalhal, orang yang engkau cari.” Harits
kaget bukan kepalang, tapi karena sudah berjanji maka Harits pun
meninggalkannya.
Dalam kisah lain diceritakan, Nu’man bin Al-Mundzir sangat risau pada
Kisra, ketika dia tidak mau mengawinkan putrinya dengan Kisra. Suatu
hari dia menitipkan perlengkapan sejata dan istrinya di rumah Hani’ bin
Mas’ud Asy-Syaibani. Setelah itu ia pergi menemui Kisra, kemudian Kisra
membunuhnya. Setelah itu Kisra mengutus seseorang menemui Hani’ dan
menagih titipan Nu’man, akan tetapi ia menolaknya. Akhirnya Kisra
mengirim pasukan untuk menyerang Hani’, dan Hani’ pun mengumpulkan
seluruh anggota Bani Bakar. Lalu dia berpidato di hadapan mereka semua,
“Wahai Bani Bakar, kematian karena suatu alasan lebih baik daripada lari
menyelamatkan diri. Sesungguhnya ancaman apa pun tidak akan mampu
menyelamatkan takdir dan sesungguhnya kesabaran menjadi penyebab akan
diraihnya kemenangan. Lebih baik mati daripada hidup terhina. Menjemput
kematian itu lebih utama daripada mundur. Mati terbunuh di tempat
penjagalan itu lebih mulia daripada mati diatas ranjang kayu dan dilihat
banyak orang. Wahai Bani Bakar berperanglah kalian semua, sesungguhnya
tidak ada yang bisa lari dari kematian.”[10]
Bani Bakar akhirnya mampu mengalahkan tentara Persia dalam
pertempuran yang terjadi di Dzi Qar. Kemenangan tersebut disebabkan
karena mereka tidak mau hidup terhina. Dia lebih memilih kematian demi
memenuhi janjinya pada Nu’man.
Sabar Menghadapi Musibah dan Rela Walau Hanya Mendapatkan Sedikit
Masyarakat Arab jahiliyah berkomentar tentang
makanan, “Makan terlalu kenyang dapat menghilangkan kecerdasan.” Mereka
juga menganggap aib jika seseorang memiliki sifat rakus dan suka makan.
Selain itu, mereka memiliki sifat yang begitu menakjubkan, yakni
sangat bersabar menghadapi cobaan dan ujian. Barangkali semua itu karena
mereka ditempa untuk biasa hidup di kawasan gurun pasir kering. Mereka
terbiasa mendaki gunung terjal dan berjalan jauh di bawah terik
matahari. Mereka tidak memperdulikan cuaca panas dan dingin. Rintangan
perjalanan dan jauhnya jarak tempuh bukanlah masalah bagi mereka. Rasa
haus dan lapar bukanlah persoalan utama. Manakala mereka memeluk Islam,
kesabaran, ketabahan dan keridhaan mereka menjadi suri teladan yang
sempurna. Di antara mereka ada yang hidup berhari-hari hanya dengan
makan beberapa butir kurma sekedar untuk menegakkan tulang punggungnya
dan beberapa tetes air sekedar untuk membasahi hatinya.[11]
Berjiwa Kuat dan Memiliki Fisik Tangguh
Masyarakat Arab, selain dikenal berfisik tangguh,
juga memiliki jiwa yang kuat dan besar. Ketika kedua kekuatan itu
bersatu pada seseorang, maka ia dapat melakukan sesuatu yang
mengangumkan dan luar biasa. Hal ini dapat terlihat tatkala mereka masuk
Islam. Dalam sebuah duel, ketika mereka sudah dapat mengalahkan musuh,
mereka akan memaafkan dan meninggalkannya. Mereka tidak mau melukai atau
membunuhnya. Mereka sangat menjunjung tinggi hak-hak tetangga, terlebih
lagi kepada kaum wanita. Mereka juga sangat menjaga harga diri.
Manakala ada seseorang yang meminta perlindungan kepada mereka,
dengan mudah, mereka akan memberikan perlindungan. Bahkan, mereka akan
mengorbankan jiwa, anak dan harta demi membelanya.
Perilaku dan akhlak terpuji merupakan harta yang amat berharga bagi
masyarakat Arab. Saat Islam datang, akhlak terpuji ini semakin tumbuh
dan mengakar pada jiwa mereka. Islam kemudian mengarahkan akhlak
tersebut kepada kebaikan dan kebenaran. Oleh karena itu, jangan heran
jika mereka keluar dari padang pasir, mereka laksana malaikat suci.
Mereka muncul ke permukaan bumi dan berupaya memenuhinya dengan cahaya
keimanan, padahal sebelumnya kekufuran telah membanjiri hingga ke
sudut-sudutnya. Mereka berupaya memenuhi bumi dengan keadilan setelah
sebelumnya bergelut dengan kezaliman, dan memenuhinya dengan pekerti,
setelah sebelumnya disibukkan dengan perbuatan hina. Mereka juga
berupaya memenuhi bumi dengan kebaikan, setelah keburukan tersebar
dimana-mana.
Demikianlah penjelasan sederhana mengenai sikap positif bangsa Arab
jahiliyah. Dibanding bangsa-bangsa yang semasa dengannya, bangsa Arab
merupakan bangsa yang kondisi sosial dan moralnya paling baik. Oleh
karena itu, dari bangsa ini lah Allah memilih salah satu sosok untuk
menjadi utusan-Nya. Bangsa arab secara milieu adalah bangsa yang langka
dan mulia dibanding bangsa-bangsa lainnya seperti Persia, Romawi, India,
dan Yunani. Tapi mengapa Allah tidak memilih utusan dari kalangan
Persia yang kaya dengan ilmu pengetahuan atau dari bangsa India yang
terkenal dengan filsafatnya, atau dari bangsa Romawi yang terkenal
dengan artistiknya, atau Yunani yang terkenal dengan sastra dan daya
imajinasi yang tinggi. Akan tetapi Allah justru memilih seorang Rasul
dari masyarakat yang peradabannya masih baru seumur jagung. Alasannya
adalah karena memang bangsa-bangsa selain Arab biarpun memiliki
peradaban yang tinggi dan kaya ilmu pengetahuan, namun mereka tidak
memiliki sesuatu yang dimiliki bangsa Arab, yaitu fitrah bangsa yang
bersih, cinta kebebasan, dan jiwa yang kokoh serta mulia