Perang Badar adalah perang pertama antara pasukan Muslimin dan kaum kafir quraisy. terjadi di lembah badar pada tahun 2 H. Berikut Sekilas tentang Peristiwa dan Sejarah Perang Badar yang merupakan tonggak terbukanya mata dunia terada agama Islam.
Keberangkatan Abu Sufyan ke Syam
SATUAN Abdullah b. Jahsy merupakan
persimpangan jalan dalam strategi politik Islam. Ketika itulah Waqid b.
Abdullah at-Tamimi melepaskan anak panahnya dan mengenai 'Amr
bin'l-Hadzrami hingga ia tewas. Ini adalah darah pertama ditumpahkan
oleh Muslimin. Karena itu pula ayat yang kita sebutkan tadi turun.
Sebagai kelanjutannya maka diundangkan perang terhadap mereka yang mau
memfitnah dan mengalihkan kaum Muslimin dan agamanya serta menghalangi
mereka dan jalan Allah. Juga satuan ini merupakan persimpangan jalan
dalam strategi politik Muslimin terhadap Quraisy, karena dengan ini
keduanya dapat berhadapan sama kuat. Sesudah itu kaum Muslimin jadi
berpikir lebih sungguh-sungguh lagi dalam membebaskan harta-benda mereka
dalam menghadapi Quraisy. Disamping itu pihak Quraisy berusaha
menghasut seluruh Jazirah Arab, bahwa Muhammad dan sahabat-sahabatnya
melakukan pembunuhan dalam bulan suci. Muhammadpun yakin sudah, bahwa
harapan akan dapat bekerja sama dengan jalan persetujuan yang
sebaik-baiknya dengan mereka sudah tak ada lagi.
Pada permulaan
musim rontok tahun kedua Hijrah, Abu Sufyan berangkat membawa
perdagangan yang cukup besar, menuju Syam. Perjalanan dagang inilah yang
ingin dicegat oleh orang-orang Islam ketika Nabi s.a.w. dulu pergi ke
'Usyaira. Tetapi tatkala mereka sampai kafilah Abu Sufyan sudah lewat
dua hari lebih dulu sebelum ia tiba di tempat tersebut. Sekarang kaum
Muslimin bertekad menunggu mereka kembali. Sementara Muhammad menantikan
mereka kembali dari Syam itu, dikirimnya Talha b. 'Ubaidillah dan Sa'id
b. Zaid menunggu berita-berita. Mereka berdua berangkat, dan
sesampainya di tempat Kasyd al-Juhani di bilangan Haura'2, mereka
bersembunyi, menunggu hingga kafilah itu lewat. Kemudian cepat-cepat
mereka berdua menemui Muhammad guna memberitahukan keadaan mereka.
Usaha Muslimin memotong jalan
Tetapi
belum lagi selesai Muhammad menunggu kedatangan kedua utusan itu dari
Haura' beserta kabar tentang kafilah yang akan dibawanya, lebih dulu
sudah tersebar berita tentang adanya sebuah rombongan kafilah besar, dan
bahwa seluruh penduduk Mekah punya saham di situ. Tak ada penduduk
laki-laki atau wanita yang dapat memberikan sahamnya yang tidak ikut
serta, sehingga seluruhnya mencapai jumlah 50.000 dinar. Ia kuatir,
kalau masih menunggu lagi kafilah itu kembali ke Mekah, mereka akan
menghilang seperti ketika berangkat ke Syam dulu. Oleh karena itu ia
segera mengutus kaum Muslimin dengan mengatakan:
"Ini adalah kafilah Quraisy. Berangkatlah kamu ke sana. Mudah-mudahan Tuhan memberikan kelebihan kepada kamu."
Ada
orang yang segera menyambutnya dan ada pula yang masih merasa
berat-berat. Dan ada lagi orang-orang yang belum Islam ingin bergabung
karena mereka hanya ingin mendapatkan harta rampasannya saja. Tetapi
Muhammad menolak penggabungan mereka ini sebelum mereka beriman kepada
Allah dan RasulNya.
Sementara itu Abu Sufyan sudah mengetahui
pula akan kepergian Muhammad yang akan mencegat kafilahnya dalam
perjalanan ke Syam. Ia kuatir kalau-kalau kaum Muslimin akan mencegatnya
bila ia kembali dengan membawa laba perdagangan. Sekarang ia tinggal
menunggu berita tentang mereka itu, termasuk Kasyd Juhani yang pernah
dikunjungi oleh kedua utusan Muhammad di Haura' itu, di antara orang
yang ditanyainya. Sekalipun Juhani belum mempercayai berita tersebut,
tapi berita tentang Muhammad, kaum Muhajirin dan Anshar sudah sampai
juga kepadanya seperti tersebarnya berita itu dulu kepada Muhammad. Ia
merasa kuatir juga kalau dari pihak Quraisy pengawalan kafilah hanya
terdiri dari tiga puluh atau empat puluh orang saja.
Ketika
itulah ia lalu mengupah Dzamdzam b. 'Amr al-Ghifari supaya cepat-cepat
pergi ke Mekah untuk mengerahkan Quraisy menolong harta-benda mereka,
juga diberitahukannya, bahwa Muhammad dan sahabat-sahabatnya sedang
mengancam.
Setibanya di Mekah, ketika berada di tengah-tengah
sebuah lembah, dipotongnya kedua telinga dan hidung untanya,
dibalikkannya pelananya dan dia sendiri berhenti di tempat itu sambil
berteriak-teriak memberitahukan, dengan mengenakan baju yang sudah
dikoyak-koyak bagian depan dan belakangnya:
"Hai orang-orang
Quraisy! Kafilah, kafilah! harta bendamu di tangan Abu Sufyan telah
dicegat oleh Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Kamu sekalian harus segera
menyusul. Perlu pertolongan! Pertolongan!"
Mendengar ini Abu
Jahl segera memanggil orang-orang di sekitar Ka'bah. Mereka dikerahkan.
Abu Jahl adalah seorang laki-laki berbadan kecil, berwajah keras dengan
lidah dan pandangan mata yang tajam. Sebenarnya orang-orang Quraisy itu
sudah tidak perlu lagi dikerahkan karena setiap orang sudah punya saham
sendiri-sendiri dalam kafilah itu.
Sungguhpun begitu ada juga
penduduk Mekah itu sebagian yang sudah merasakan adanya kekejaman
Quraisy terhadap kaum Muslimin sehingga menyebabkan mereka terpaksa
hijrah ke Abisinia dan kemudian hijrah ke Medinah. Mereka ini masih
maju-mundur: akan turut juga berperang mempertahankan harta-benda
mereka, atau akan tinggal diam saja dengan harapan kalau-kalau kafilah
itu tidak mengalami sesuatu gangguan. Mereka ini masih ingat bahwa dulu
antara kabilah Quraisy dan kabilah Kinana ada tuntutan darah yang
dilakukan oleh kedua belah pihak. Apabila mereka ini cepat-cepat
menghadapi Muhammad dalam membela kafilah itu, mereka kuatir akan
diserbu oleh Banu Bakr (dari Kinana) dari belakang. Alasan demikian ini
hampir saja memperkuat pendapat yang ingin tinggal diam saja, kalau
tidak lalu datang Malik b. Ju'syum (Mudlij), seorang pemuka Banu Kinana.
"Bagi kamu aku adalah jaminan, bahwa Kinana tidak akan melakukan sesuatu di belakang kamu yang akan merugikan kamu sekalian."
Dengan
demikian orang-orang semacam Abu Jahl, 'Amir al-Hadzrami serta
penganjur-penganjur perang menentang Muhammad dan pengikut-pengikutnya,
mendapat dukungan kuat. Tak ada alasan bagi orang yang mampu berperang
itu yang akan tinggal di belakang atau akan menggantikannya kepada orang
lain. Dari pemuka-pemuka Quraisypun tak ada yang ketinggalan, kecuali
Abu Lahab yang diwakili oleh al-'Ash b. Hisyam b. Mughira. Orang ini
punya hutang kepadanya (Abu Lahab) sebanyak 4000 dirham yang tak dibayar
sehingga ia bangkrut karenanya. Sedang Uamyya b. Khalaf sudah bertekad
akan tinggal diam. Dia sebagai orang terpandang, yang sudah tua sekali
usianya, badannya gemuk dan berat.
Ketika itu ia didatangi oleh
'Uqba b. Abi Mu'ait dan Abu Jahl ke mesjid. 'Uqba membawa perapian
dengan kemenyan sedang Abu Jahl membawa tempat celak dan pemalitnya.
'Uqba meletakkan tempat api itu di depannya seraya berkata:
"Abu Ali,3 gunakanlah perapian dan menyan ini, sebab kau wanita."
"Pakailah celak ini, Abu Ali, sebab kau perempuan," kata Abu Jahl.
"Belikan buat aku seekor unta yang terbaik di lembah ini," jawab Umayya.
Lalu iapun pergi bersama mereka. Sekarang tiada seorangpun yang mampu bertempur yang masih tinggal di Mekah.
Pada
hari kedelapan bulan Ramadan tahun kedua Hijrah, Nabi s.a.w. berangkat
dengan sahabat-sahabatnya meninggalkan Medinah. Pimpinan sembahyang
diserahkan kepada 'Amr b. Umm Maktum, sedang pimpinan Medinah kepada Abu
Lubaba dari Rauha'. Dalam perjalanan ini Muslimin didahului oleh dua
bendera hitam. Mereka membawa tujuhpuluh ekor unta, yang dinaiki dengan
cara silih berganti. Setiap dua orang, setiap tiga orang dan setiap
empat orang bergantian naik seekor unta. Dalam hal ini Muhammad juga
mendapat bagian sama seperti sahabat-sahabatnya yang lain. Dia, Ali b.
Abi Talib dan Marthad b. Marthad al-Ghanawi bergantian naik seekor unta.
Abu Bakr, Umar dan Abdur-Rahman b. 'Auf bergantian juga dengan seekor
unta. Jumlah mereka yang berangkat bersama Muhammad dalam ekspedisi ini
terdiri dari tiga ratus lima orang, delapanpuluh tiga di antaranya
Muhajirin, enampuluh satu orang Aus dan yang selebihnya dari Khazraj.
Karena
dikuatirkan Abu Sufyan akan menghilang lagi, cepat-cepat mereka
berangkat sambil terus berusaha mengikuti berita-berita tentang orang
ini di mana saja mereka berada.Tatkala sampai di 'Irq'z-Zubya mereka
bertemu dengan seorang orang Arab gunung yang ketika ditanyai tentang
rombongan itu, ternyata ia tidak mendapat berita apa-apa. Mereka
meneruskan perjalanan hingga sampai di sebuah wadi bernama Dhafiran; di
tempat itu mereka turun. Di tempat inilah mereka mendapat berita, bahwa
pihak Quraisy sudah berangkat dari Mekah, akan melindungi kafilah
mereka.
Ketika itu suasananya sudah berubah. Kini kaum Muslimin
dari kalangan Muhajirin dan Anshar bukan lagi berhadapan dengan Abu
Sufyan dengan kalifahnya serta tigapuluh atau empatpuluh orang
rombongannya itu saja, yang takkan dapat melawan Muhammad dan
sahabat-sahabatnya, melainkan Mekah dengan seluruh isinya sekarang
keluar dipimpin oleh pemuka-pemuka mereka sendiri guna membela
perdagangan mereka itu.
Andaikata pihak Muslimin sudah dapat
mengejar Abu Sufyan, dan beberapa orang dari rombongan itu sudah dapat
ditawan, unta beserta muatannya sudah dapat dikuasai, pihak Quraisypun
tentu akan segera pula dapat menyusul mereka. Soalnya karena terdorong
oleh rasa cintanya kepada harta dan ingin mempertahankannya. Mereka
merasa sudah didukung oleh sejumlah orang dan perlengkapan yang cukup
besar. Mereka bertekad akan bertempur dan mengambil kembali harta
mereka, atau bersedia mati untuk itu.
Tetapi sebaliknya, apabila
Muhammad kembali ke tempat semula, pihak Quraisy dan Yahudi Medinah
tentu merasa mendapat angin. Dia sendiri terpaksa akan berada dalam
situasi yang serba dibuat-buat, sahabat-sahabatnya pun terpaksa akan
memikul segala tekanan dan gangguan Yahudi Medinah, seperti gangguan
yang pernah mereka alami dari pihak Quraisy di Mekah dahulu. Ya, apabila
ia menyerah kepada situasi semacam itu, mustahil sekali kebenaran akan
dapat ditegakkan dan Tuhan akan memberikan pertolongan dalam menegakkan
agama itu.
Sekarang ia bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya.
Diberitahukannya kepada mereka tentang keadaan Quraisy menurut berita
yang sudah diterimanya. Abu Bakr dan Umar juga lalu memberikan pendapat.
Kemudian Miqdad b. 'Amr tampil mengatakan:
"Rasulullah,
teruskanlah apa yang sudah ditunjukkan Allah. Kami akan bersama tuan.
Kami tidak akan mengatakan seperti Banu Israil yang berkata kepada Musa:
"Pergilahkamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah. Kami di sini akan
tinggal menunggu. Tetapi, pergilah engkau dan Tuhanmu, dan berperanglah,
kami bersamamu akan juga turut berjuang."
Semua orang diam.
"Berikan
pendapat kamu sekalian kepadaku," kata Rasul lagi. Kata-kata ini
sebenarnya ditujukan kepada pihak Anshar yang telah menyatakan Ikrar
'Aqaba, bahwa mereka akan melindunginya seperti terhadap sanak
keluarganya sendiri, tapi mereka tidak mengadakan ikrar itu untuk
mengadakan serangan keluar Medinah.
Tatkala pihak Anshar merasa
bahwa memang mereka yang dimaksud, maka Sa'd b. Musadh yang memegang
pimpinan mereka menoleh kepada Muhammad.
"Agaknya yang dimaksud Rasulullah adalah kami," katanya.
"Ya," jawab Rasul.
"Kami
telah percaya kepada Rasul dan membenarkan," kata Sa'd pula, "Kamipun
telah menyaksikan bahwa apa yang kaubawa itu adalah benar. Kami telah
memberikan janji kami dan jaminan kami, bahwa kami akan tetap taat
setia. Laksanakanlah kehendakmu, kami disampingmu. Demi yang telah
mengutus kamu, sekiranya kaubentangkan lautan di hadapan kami, lalu kau
terjun menyeberanginya, kamipun akan terjun bersamamu, dan tak
seorangpun dari kami akan tinggal di belakang. Kami takkan segan-segan
menghadapi musuh kita besok. Kami cukup tabah dalam perang, cukup setia
bertempur. Semoga Tuhan membuktikan segalanya dari kami yang akan
menyenangkan hatimu. Ajaklah kami bersama, dengan berkah Tuhan."
Begitu Sa'd selesai bicara, wajah Muhammad tampak berseri. Tampaknya ia puas sekali; seraya katanya:
"Berangkatlah,
dan gembirakan! Allah sudah menjanjikan kepadaku atas salah satunya
dari dua kelompok4 itu. Seolah-olah kini kehancuran mereka itu tampak di
hadapanku."
Merekapun lalu berangkat semua. Ketika sampai pada
suatu tempat dekat Badr, Muhammad pergi lagi dengan untanya sendiri. Ia
menemui seorang orang Arab tua. Kepada orang ini ia menanyakan Quraisy
dan menanyakan Muhammad dan sahabat-sahabatnya, yang kemudian
daripadanya diketahui, bahwa kafilah Quraisy berada tidak jauh dari
tempat itu.
Lalu kembali lagi ia ke tempat sahabat-sahabatnya.
Ali b. Abi Talib, Zubair bin'l-Awwam, Sa'd b. Abi Waqqash serta beberapa
orang sahabat lainnya segera ditugaskan mengumpulkan berita-berita dari
sebuah tempat di Badr. Kurir ini segera kembali dengan membawa dua
orang anak. Dari kedua orang ini Muhammad mengetahui, bahwa pihak
Quraisy kini berada di balik bukit pasir di tepi ujung Wadi.5 Ketika
mereka menjawab, bahwa mereka tidak mengetahui berapa jumlah pihak
Quraisy, ditanya lagi oleh Muhammad:
"Berapa ekor ternak yang mereka potong tiap hari?"
"Kadang sehari sembilan, kadang sehari sepuluh ekor," jawab mereka.
Dengan
demikian Nabi dapat mengambil kesimpulan, bahwa mereka terdiri dari
antara 900 sampai 1000 orang. Juga dari kedua anak itu dapat diketahui
bahwa bangsawan-bangsawan Quraisy ikut serta memperkuat diri
Lalu katanya kepada sahabat-sahabatnya: "Lihat. Sekarang Mekah sudah menghadapkan semua bunga bangsanya kepada kita."
Berangkat dengan sukses
Mau
tidak mau, sekarang ia dan sahabat-sahabatnya harus berhadapan dengan
suatu golongan yang jumlahnya tiga kali jauh lebih besar. Mereka harus
mengerahkan seluruh semangat, harus mengadakan persiapan mental
menghadapi kekerasan itu. Mereka harus siap menunggu suatu pertempuran
sengit dan dahsyat, yang takkan dapat dimenangkan kecuali oleh iman yang
kuat memenuhi kalbu, iman dan kepercayaan akan adanya kemenangan itu.
Bilamana
Ali sudah kembali dengan kedua orang anak yang membawa berita tentang
Quraisy itu, dua orang Muslimin lainnya lalu berangkat lagi menuju
lembah Badr. Mereka berhenti di atas sebuah bukit tidak jauh dari tempat
air, dikeluarkannya tempat persediaan airnya, dan di sini mereka
mengisi air itu.
Sementara mereka berada di tempat air,
terdengar ada suara seorang budak perempuan, yang agaknya sedang menagih
hutang kepada seorang wanita lainnya, yang lalu dijawab:
"Kafilah dagang besok atau lusa akan datang. Pekerjaan akan kuselesaikan dengan mereka dan hutang segera akan kubayar."
Kedua laki-laki itu kembali. Disampaikannya apa yang telah mereka dengar itu kepada Muhammad.
Perdagangan Abu Sufyan selamat
Tetapi,
dalam pada itu Abu Sufyan sudah mendahului kafilahnya mencari-cari
berita. Ia kuatir Muhammad akan sudah lebih dulu ada di jalan itu.
Sesampainya di tempat air ia bertemu dengan Majdi b. 'Amr.
"Ada kau melihat orang tadi?" tanyanya.
Majdi
menjawab bahwa ia melihat ada dua orang berhenti di bukit itu sambil ia
menunjuk ke tempat dua orang laki-laki Muslim itu tadi berhenti. Abu
Sufyanpun pergi mendatangi tempat perhentian tersebut. Dilihatnya ada
kotoran dua ekor unta dan setelah diperiksanya, diketahuinya, bahwa biji
kotoran itu berasal dari makanan ternak Yathrib.
Cepat-cepat ia
kembali menemui teman-temannya dan membatalkan perjalanannya melalui
jalan semula. Dengan tergesa-gesa sekali sekarang ia memutar haluan
melalui jalan pantai laut. Jaraknya dengan Muhammad sudah jauh, dan dia
dapat meloloskan diri.
Quraisy dan Muslimin ragu-ragu akan berperang
Hingga
keesokan harinya kaum Muslimin masih menantikan kafilah itu akan lewat.
Tetapi setelah ada berita-berita bahwa ia sudah lolos dan yang masih
ada di dekat mereka sekarang adalah angkatan perang Quraisy, beberapa
orang yang tadinya mempunyai harapan penuh akan beroleh harta rampasan,
terbalik menjadi layu. Beberapa orang bertukar pikiran dengan Nabi
dengan maksud supaya kembali saja ke Medinah, tidak perlu berhadapan
dengan mereka yang datang dari Mekah hendak berperang. Ketika itu datang
firman Tuhan:
"Ingat! Tuhan menjanjikan kamu salah satu dari
dua keIompok (musuh) itu untuk kamu. Sedang kamu menginginkan, bahwa
yang tidak bersenjata itulah yang untuk kamu. Tetapi Allah mau
membuktikan kebenaran itu sesuai dengan ayat-ayatNya, dan akan merabut
akar orang-orang yang tak beriman itu."6
Pada pihak Quraisy juga
begitu. Perlu apa mereka berperang, perdagangan mereka sudah selamat?
Bukankah lebih baik mereka kembali ke tempat semula, dan membiarkan
pihak Islam kembali ke tempat mereka. Abu Sufyan juga berpikir begitu.
Itu sebabnya ia mengirim utusan kepada Quraisy mengatakan: Kamu telah
berangkat guna menjaga kafilah dagang, orang-orang serta harta-benda
kita. Sekarang kita sudah diselamatkan Tuhan. Kembalilah. Tidak sedikit
dari pihak Quraisy sendiri yang juga mendukung pendapat ini.
Quraisy mengetahui persiapan Muslimin
Tetapi Abu Jahl ketika mendengar kata-kata ini, tiba-tiba berteriak:
"Kita
tidak akan kembali sebelum kita sampai di Badr. Kita akan tinggal tiga
malam di tempat itu. Kita memotong ternak, kita makan-makan, minum-minum
khamr, kita minta biduanita-biduanita bernyanyi. Biar orang-orang Arab
itu mendengar dan mengetahui perjalanan dan persiapan kita. Biar mereka
tidak lagi mau menakut-nakuti kita."
Soalnya pada waktu itu Badr
merupakan tempat pesta tahunan. Apabila pihak Quraisy menarik diri dari
tempat itu setelah perdagangan mereka selamat, bisa jadi akan
ditafsirkan oleh orang-orang Arab - menurut pendapat Abu Jahl - bahwa
mereka takut kepada Muhammad dan teman-temannya. Dan ini berarti
kekuasaan Muhammad akan makin terasa, ajarannya akan makin tersebar,
makin kuat. Apalagi sesudah adanya satuan Abdullah b. Jahsy, terbunuhnya
Ibn'l-Hadzrami, dirampasnya dan ditawannya orang-orang Quraisy.
Ditunggu kembalinya
Mereka
jadi ragu-ragu: antara mau ikut Abu Jahl karena takut dituduh pengecut,
atau kembali saja setelah kafilah perdagangan mereka selamat. Tetapi
yang ternyata kemudian kembali pulang hanya Banu Zuhra, setelah mereka
mau mendengarkan saran Akhnas b. Syariq, orang yang cukup ditaati
mereka.
Pihak Quraisy yang lain ikut Abu Jahl. Mereka berangkat
menuju ke sebuah tempat perhentian, di tempat ini mereka mengadakan
persiapan perang, kemudian mengadakan perundingan. Lalu mereka berangkat
lagi ke tepi ujung wadi, berlindung di balik sebuah bukit pasir.
Mereka berangkat ke Badr
Sebaliknya
pihak Muslimin, yang sudah kehilangan kesempatan mendapatkan harta
rampasan, sudah sepakat akan bertahan terhadap musuh bila kelak
diserang. Oleh karena itu merekapun segera berangkat ke tempat mata air
di Badr itu, dan perjalanan ini lebih mudah lagi karena waktu itu hujan
turun. Setelah mereka sudah mendekati mata air, Muhammad berhenti. Ada
seseorang yang bernama Hubab b. Mundhir b. Jamuh, orang yang paling
banyak mengenal tempat itu, setelah dilihatnya Nabi turun di tempat
tersebut, ia bertanya:
"Rasulullah, bagaimana pendapat tuan
berhenti di tempat ini? Kalau ini sudah wahyu Tuhan, kita takkan maju
atau mundur setapakpun dari tempat ini. Ataukah ini sekedar pendapat
tuan sendiri, suatu taktik perang belaka?"
"Sekedar pendapat saya dan sebagai taktik perang," jawab Muhammad.
"Rasulullah,"
katanya lagi. "Kalau begitu, tidak tepat kita berhenti di tempat ini.
Mari kita pindah sampai ke tempat mata air terdekat dan mereka, lalu
sumur-sumur kering yang dibelakang itu kita timbun. Selanjutnya kita
membuat kolam, kita isi sepenuhnya. Barulah kita hadapi mereka
berperang. Kita akan mendapat air minum, mereka tidak."
Melihat
saran Hubab yang begitu tepat itu, Muhammad dan rombongannya segera pula
bersiap-siap dan mengikuti pendapat temannya itu, sambil mengatakan
kepada sahabat-sahabatnya bahwa dia juga manusia seperti mereka, dan
bahwa sesuatu pendapat itu dapat dimusyawarahkan bersama-sama dan dia
tidak akan menggunakan pendapat sendiri di luar mereka. Dia perlu sekali
mendapat konsultasi yang baik dari sesama mereka sendiri.
Selesai kolam itu dibuat, Sa'd b. Mu'adh mengusulkan:
"Rasulullah,"7
katanya, "kami akan membuatkan sebuah dangau buat tempat Tuan tinggal,
kendaraan Tuan kami sediakan. Kemudian biarlah kami yang menghadapi
musuh. Kalau Tuhan memberi kemenangan kepada kita atas musuh kita,
itulah yang kita harapkan. Tetapi kalaupun sebaliknya yang terjadi;
dengan kendaraan itu Tuan dapat menyusul teman-teman yang ada di
belakang kita. Rasulullah,7 masih banyak sahabat-sahabat kita yang
tinggal di belakang, dan cinta mereka kepada tuan tidak kurang dari
cinta kami ini kepada tuan. Sekiranya mereka dapat menduga bahwa tuan
akan dihadapkan pada perang, niscaya mereka tidak akan berpisah dari
tuan. Dengan mereka Tuhan menjaga tuan. Mereka benar-benar ikhlas kepada
tuan, berjuang bersama tuan."
Muhammad sangat menghargai dan
menerima baik saran Sa'd itu. Sebuah dangau buat Nabi lalu dibangun.
Jadi bila nanti kemenangan bukan di tangan Muslimin, ia takkan jatuh ke
tangan musuh, dan masih akan dapat bergabung dengan sahabat-sahabatnya
di Yathrib.
Disini orang perlu berhenti sejenak dengan penuh
kekaguman, kagum melihat kesetiaan Muslimin yang begitu dalam, rasa
kecintaan mereka yang begitu besar kepada Muhammad, serta dengan
kepercayaan penuh kepada ajarannya. Semua mereka mengetahui, bahwa
kekuatan Quraisy jauh lebih besar dari kekuatan mereka, jumlahnya tiga
kali lipat banyaknya. Tetapi, sungguhpun begitu, mereka sanggup
menghadapi, mereka sanggup melawan. Dan mereka inilah yang sudah
kehilangan kesempatan mendapatkan harta rampasan. Tetapi sungguhpun
begitu karena bukan pengaruh materi itu yang mendorong mereka bertempur,
mereka selalu siap disamping Nabi, memberikan dukungan, memberikan
kekuatan. Dan mereka inilah yang juga sangsi, antara harapan akan
menang, dan kecemasan akan kalah. Tetapi, sungguhpun begitu, pikiran
mereka selalu hendak melindungi Nabi, hendak menyelamatkannya dari
tangan musuh. Mereka menyiapkan jalan baginya untuk menghubungi
orang-orang yang masih tinggal di Medinah. Suasana yang bagaimana lagi
yang lebih patut dikagumi daripada ini? Iman mana lagi yang lebih
menjamin akan memberikan kemenangan seperti iman yang ada ini?
Posisi kedua belah pihak di Badr
Sekarang
pihak Quraisy sudah turun ke medan perang. Mereka mengutus orang yang
akan memberikan laporan tentang keadaan kaum Muslimin. Mereka lalu
mengetahui, bahwa jumlah kaum Muslimin lebih kurang tiga ratus orang,
tanpa pasukan pengintai, tanpa bala bantuan. Tetapi mereka adalah
orang-orang yang hanya berlindung pada pedang mereka sendiri. Tiada
seorang dan mereka akan rela mati terbunuh, sebelum dapat membunuh
lawan.
Mengingat bahwa gembong-gembong Quraisy telah juga ikut
serta dalam angkatan perang ini, beberapa orang dari kalangan ahli pikir
mereka merasa kuatir, kalau-kalau banyak dari mereka itu yang akan
terbunuh, sehingga Mekah sendiri nanti akan kehilangan arti. Sungguhpun
begitu mereka masih takut kepada Abu Jahl yang begitu keras, juga mereka
takut dituduh pengecut dan penakut. Tetapi tiba-tiba tampil 'Utba b.
Rabi'a ke hadapan mereka itu sambil berkata:
"Saudara-saudara
kaum Quraisy, apa yang tuan-tuan lakukan hendak memerangi Muhammad dan
kawan-kawannya itu, sebenarnya tak ada gunanya. Kalau dia sampai binasa
karena tuan-tuan, masih ada orang lain dari kalangan tuan-tuan sendin
yang akan melihat, bahwa yang terbunuh itu adalah saudara sepupunya,
dari pihak bapa atau pihak ibu, atau siapa saja dari keluarganya.
Kembali sajalah dan biarkan Muhammad dengan teman-temannya itu. Kalau
dia binasa karena pihak lain, maka itu yang tuan-tuan kehendaki. Tetapi
kalau bukan itu yang terjadi, kita tidak perlu melibatkan diri dalam
hal-hal yang tidak kita inginkan."
Mendengar kata-kata 'Utba itu, Abu Jahl naik darah. Ia segera memanggil 'Amir bin'l-Hadzrami dengan mengatakan:
"Sekutumu
ini ingin supaya orang pulang. Kau sudah melihat dengan mata kepala
sendiri siapa yang harus dituntut balas. Sekarang, tuntutlah pembunuhan
terhadap saudaramu!"8
'Amir segera bangkit dan berteriak:
"O saudaraku! Tak ada jalan lain mesti perang!"
Dengan
dipercepatnya pertempuran itu Aswad b. 'Abd'l-Asad (Makhzum) keluar
dari barisan Quraisy langsung menyerbu ke tengah-tengah barisan Muslimin
dengan maksud hendak menghancurkan kolam air yang sudah selesai dibuat.
Tetapi ketika itu juga Hamzah b. Abd'l-Muttalib segera menyambutnya
dengan satu pukulan yang mengenai kakinya, sehingga ia tersungkur dengan
kaki yang sudah berlumuran darah. Sekali lagi Hamzah memberikan
pukulan, sehingga ia tewas di belakang kolam itu. Buat mata pedang
memang tak ada yang tampak lebih tajam daripada darah. Juga tak ada
sesuatu yang lebih keras membakar semangat perang dan pertempuran dalam
jiwa manusia daripada melihat orang yang mati di tangan musuh sedang
teman-temannya berdiri menyaksikan.
Begitu melihat Aswad jatuh,
maka tampillah 'Utba b. Rabi'a didampingi oleh Syaiba saudaranya dan
Walid b. 'Utba anaknya, sambil menyerukan mengajak duel. Seruannya itu
disambut oleh pemuda-pemuda dari Medinah. Tetapi setelah melihat mereka
ini ia berkata lagi:
"Kami tidak memerlukan kamu. Yang kami maksudkan ialah golongan kami."
Lalu dari mereka ada yang memanggil-manggil:
"Hai Muhammad! Suruh mereka yang berwibawa dari asal golongan kami itu tampil!"
Ketika
itu juga yang tampil menghadapi mereka adalah Hamzah b. Abd'l-Muttalib,
Ali b. Abi Talib dan 'Ubaida bin'l-Harith. Hamzah tidak lagi memberi
kesempatan kepada Syaiba, juga Ali tidak memberi kesempatan kepada
Walid, mereka itu ditewaskan. Lalu keduanya segera membantu 'Ubaida yang
kini sedang diterkam oleh 'Utba. Sesudah Quraisy sekarang melihat
kenyataan ini mereka semua maju menyerbu.
Pada pagi Jum'at 17 Ramadan itulah kedua pasukan itu berhadap-hadapan muka.
Sekarang
Muhammad sendiri yang tampil memimpin Muslimin, mengatur barisan.
Tetapi ketika dilihatnya pasukan Quraisy begitu besar, sedang anak
buahnya sedikit sekali, disamping perlengkapan yang sangat lemah
dibanding dengan perlengkapan Quraisy, ia kembali ke pondoknya ditemani
oleh Abu Bakr. Sungguh cemas ia akan peristiwa yang akan terjadi hari
itu, sungguh pilu hatinya melihat nasib yang akan menimpa Islam
sekiranya Muslimin tidak sampai mendapat kemenangan.
Doa Muhammad
Muhammad
kini menghadapkan wajahnya ke kiblat, dengan seluruh jiwanya ia
menghadapkan diri kepada Tuhan, ia mengimbau Tuhan akan segala apa yang
telah dijanjikan kepadanya, ia membisikkan permohonan dalam hatinya agar
Tuhan memberikan pertolongan. Begitu dalam ia hanyut dalam doa, dalam
permohonan, sambil berkata:
"Allahumma ya Allah. Ini Quraisy
sekarang datang dengan segala kecongkakannya, berusaha hendak
mendustakan RasulMu. Ya Allah, pertolonganMu juga yang Kaujanjikan
kepadaku. Ya Allah, jika pasukan ini sekarang binasa tidak lagi ada
ibadat kepadaMu."
Sementara ia masih hanyut dalam doa kepada
Tuhan sambil merentangkan tangan menghadap kiblat itu, mantelnya
terjatuh. Ketika itu Abu Bakr lalu meletakkan mantel itu kembali ke
bahunya, sambil ia bermohon:
"Rasulullah, dengan doamu itu Tuhan akan mengabulkan apa yang telah dijanjikan kepadamu."
Tetapi
sungguhpun begitu, Muhammad makin dalam terbawa dalam doa, dalam
tawajuh kepada Allah; dengan penuh khusyu' dan kesungguhan hati ia terus
memanjatkan doa, memohonkan isyarat dan pertolongan Tuhan dalam
menghadapi peristiwa, yang oleh kaum Muslimin sama sekali tidak
diharapkan, dan untuk itu tidak pula mereka punya persiapan. Karena yang
demikian inilah akhirnya ia sampai terangguk dalam keadaan mengantuk.
Dalam pada itu tampak olehnya pertolongan Tuhan itu ada. Ia sadar
kembali, kemudian ia bangun dengan penuh rasa gembira.
Sekarang ia keluar menemui sahabat-sahabatnya; dikerahkannya mereka sambil berkata:
"Demi
Dia Yang memegang hidup Muhammad.9 Setiap orang yang sekarang bertempur
dengan tabah, bertahan mati-matian, terus maju dan pantang mundur, lalu
ia tewas, maka Allah akan menempatkannya di dalam surga."
Jiwanya
yang begitu kuat, yang telah diberikan Tuhan begitu tinggi melampaui
segala kekuatan, telah tertanam pula dengan ajarannya ke dalam jiwa
orang-orang beriman. Dan kekuatan mereka itu sudah melampaui semangat
mereka sendiri, sehingga setiap orang dari mereka sama dengan dua orang,
bahkan sama dengan sepuluh orang.
Akan lebih mudah orang
memahami ini bila diingat arti kekuatan moril yang begitu besar
pengaruhnya dalam jiwa seseorang, dan ini akan bertambah besar
pengaruhnya apabila kekuatan moril ini ada pula dasarnya. Semangat
nasionalisma juga dapat menambah ini. Seorang prajurit yang
mempertahankan tanah air yang terancam bahaya, jiwanya penuh dengan
semangat patriotisma, akan bertambah kekuatan morilnya sesuai dengan
besar cintanya kepada tanah air serta kekuatirannya akan bahaya yang
mengancam tanah air itu dari pihak musuh.
Oleh karena itu
semangat patriotisma dan pengorbanan untuk tanah air oleh bangsa-bangsa
di dunia telah ditanamkan kepada warga negaranya sejak semasa mereka
kecil. Adanya kepercayaan kepada kebenaran, kepada keadilan, kebebasan
serta arti kemanusiaan yang tinggi menambah pula kekuatan moril dalam
jiwa orang. Ini berarti melipat-gandakan kekuatan materi. Dan orang yang
masih ingat akan propaganda anti-Jerman yang begitu luas disebarkan
pihak Sekutu dalam Perang Dunia I, yang pada dasarnya mereka berperang
melawan kekuatan senjata Jerman itu karena hendak membela kebebasan dan
kebenaran serta mempersiapkan suatu perjanjian perdamaian, akan
menyadari betapa sesungguhnya propaganda itu dapat melipat-gandakan
kekuatan semangat prajurit-prajurit Sekutu di samping menimbulkan
simpati sebagian besar bangsa-bangsa di dunia.
Apa artinya
nasionalisma dan masalah perdamaian, dibandingkan dengan tujuan yang
diserukan Muhammad itu! Tujuan komunikasi manusia dengan seluruh wujud,
suatu komunikasi yang akan meleburkannya dan keluar menjadi salah satu
kekuatan alam semesta, yang akan memberi arah kepadanya menuju kebaikan
hidup, kenikmatan dan kesempurnaan yang integral.
Ya! Apa
artinya nasionalisma dan masalah perdamaian disamping kewajibannya
disisi Tuhan, membela orang-orang yang beriman dari renggutan mereka
yang hendak membuat fitnah dan godaan, dari mereka yang mengalangi jalan
kebenaran, mereka yang hendak menjerumuskan umat manusia ke jurang
paganisma dan syirik. Apabila dengan rasa cinta tanah air jiwa itu makin
kuat, sesuai dengan semua kekuatan tanah air yang ada, dan dengan rasa
cinta perdamaian untuk seluruh umat manusia jiwa itupun makin kuat,
sesuai dengan kekuatan semua umat manusia yang ada, maka betapa pula
dahsyatnya kekuatan jiwa yang dibawa oleh adanya iman kepada semesta
wujud dan Pencipta seluruh wujud ini! Iman itulah yang akan membuat
tenaga manusia mampu memindahkan gunung, menggerakkan isi dunia. Ia
dapat mengawasi - dengan kemampuan morilnya - segala yang masih berada
di bawah taraf itu. Dan kemampuan moril ini akan berlipat ganda pula
kekuatannya.
Apabila secara integral kemampuan moril ini belum
lagi mencapai tujuannya disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat di
kalangan Muslimin sebelum terjadi perang, belum dicapainya kekuatan
materi sebagaimana yang diharapkan, maka dengan daya iman itu justru ia
mempunyai kelebihannya. Hal ini bertambah kuat lagi tatkala Muhammad dan
sahabat-sahabatnya dapat mengerahkan mereka. Maka dengan demikian,
jumlah manusia dan perlengkapan yang sangat sedikit itu telah rnendapat
kompensasi. Dalam keadaan Nabi dan sahabat-sahabatnya yang demikian
inilah kedua ayat ini turun:
"O Nabi! Bangunkanlah semangat
orang-orang beriman itu dalam menghadapi perang. Bila kamu berjumlah
duapuluh orang yang tabah, mereka ini akan mengalahkan duaratus orang.
Bila kamu berjumlah seratus orang, niscaya akan mengalahkan seribu orang
kafir; sebab mereka adalah orang-orang yang tidak mengerti. Sekarang
Tuhan meringankan kamu, karena Ia mengetahui, bahwa pada kamu masih ada
kelemahan. Maka, jika kamu berjumlah seratus orang yang tabah, akan
dapat mengalahkan duaratus orang, dan jika kamu seribu orang, akan dapat
mengalahkan duaribu dengan ijin Allah. Dan Allah bersama orang-orang
yang berhati tabah." (Qur'an, 8:55-56.)
Hilangnya keraguan
Keadaan
Muslimin ternyata bertambah kuat setelah Muhammad membangkitkan
semangat mereka, turut hadir di tengah-tengah mereka, mendorong mereka
mengadakan perlawanan terhadap musuh. Ia menyerukan kepada mereka, bahwa
surga bagi mereka yang telah teruji baik dan langsung terjun ke
tengah-tengah musuh. Dalam hal ini kaum Muslimin mengarahkan
perhatiannya pada pemuka-pemuka dan pemimpin-pemimpin Quraisy. Mereka
hendak dikikis habis sebagai balasan yang seimbang tatkala mereka
disiksa di Mekah dulu, dirintangi memasuki Mesjid Suci dan berjuang
untuk Allah. Bilal melihat Umayya b. Khalaf dan anaknya, begitu juga
beberapa orang Islam melihat mereka yang dikenalnya di Mekah dulu.
Umayya ini adalah orang yang pernah menyiksa Bilal dulu, ketika ia
dibawanya ketengah-tengah padang pasir yang paling panas di Mekah.
Ditelentangkannya ia di tempat itu lalu ditindihkannya batu besar di
dadanya, dengan maksud supaya ia meninggalkan Islam. Tetapi Bilal hanya
berkata: "Ahad, Ahad.10 Yang Satu, Yang Satu."
Ketika dilihatnya Umayya, Bilal berkata:
"Umayya, moyang kafir. Takkan selamat aku, kalau kau lolos!"
Beberapa
orang dari kalangan Muslimin mengelilingi Umayya dengan tujuan jangan
sampai ia terbunuh dan akan dibawanya sebagai tawanan.
Tetapi Bilal di tengah-tengah orang banyak itu berteriak sekeras-kerasnya:
"Sekalian tentara Tuhan! Ini Umayya b. Khalaf kepala kafir. Takkan selamat aku kalau ia lolos."
Orang
banyak berkumpul. Tetapi Bilal tak dapat diredakan lagi, dan Umayya
dibunuhnya. Ketika itu Mu'adh b. 'Amr b. Jamuh juga dapat menewaskan Abu
Jahl b. Hisyam. Kemudian Hamzah, Ali dan pahlawan-pahlawan Islam yang
lain menyerbu ke tengah-tengah pertempuran sengit itu. Mereka sudah lupa
akan dirinya masing-masing dan lupa pula akan jumlah kawan-kawannya
yang hanya sedikit berhadapan dengan musuh yang begitu besar.
Debu
dan pasir halus membubung dan beterbangan memenuhi udara. Kepala-kepala
ketika itu sudah lepas berjatuhan dari tubuh Quraisy. Berkat iman yang
teguh keadaan Muslimin bertambah kuat juga. Dengan gembira mereka
berseru: Ahad, Ahad. Di hadapan mereka kini terbuka tabir ruang dan
waktu, sebagai bantuan Tuhan kepada mereka dengan para malaikat yang
memberikan berita gembira, yang membuat iman mereka bertambah teguh,
sehingga bila salah seorang dari mereka mengangkat pedang dan
mengayunkannya ke leher musuh, seolah-olah tangan mereka digerakkan
dengan tenaga Tuhan.
Di tengah-tengah medan pertempuran yang
sedang sibuk dikunjungi malaikat maut memunguti leher orang-orang kafir
itu, Muhammad berdiri. Diambilnya segenggam pasir, dihadapkannya kepada
Quraisy. "Celakalah wajah-wajah mereka itu!" katanya sambil menaburkan
pasir itu kearah mereka. Sahabat-sahabatnya lalu diberi komando:
"Serbu!"
Serentak pihak Muslimin menyerbu kedepan, masih dalam
jumlah yang lebih kecil dari jumlah Quraisy. Tetapi jiwa mereka sudah
penuh terisi oleh semangat dari Tuhan. Sudah bukan mereka lagi yang
membunuh musuh, sudah bukan mereka lagi yang menawan tawanan perang.
Hanya karena adanya semangat dari Tuhan yang tertanam dalam jiwa mereka
itu kekuatan moril mereka bertambah, sehingga kekuatan materi merekapun
bertambah pula. Dalam hal ini firman Allah turun:
"Ingat, ketika
Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: 'Aku bersama kamu.'
Teguhkanlah pendirian orang-orang beriman itu. Akan kutanamkan rasa
gentar ke dalam hati orang-orang kafir itu. Pukullah bagian atas leher
mereka dan pukul pula setiap ujung jari mereka." (Qur'an, 8: 12)
"Sebenarnya
bukan kamu yang membunuh mereka, melainkan Allah juga yang telah
membunuh mereka. Juga ketika kau lemparkan, sebenarnya bukan engkau yang
melakukan itu, melainkan Tuhan juga." (Qur'an, 8: 17)
Tatkala
Rasul melihat bahwa Tuhan telah melaksanakan janjiNya dan setelah
ternyata pula kemenangan berada di pihak orang-orang Islam, ia kembali
ke pondoknya. Orang-orang Quraisy kabur. Oleh Muslimin mereka dikejar
terus. Yang tidak terbunuh dan tak berhasil melarikan diri, ditawan.
Inilah
perang Badr, yang kemudian telah memberikan tempat yang stabil kepada
umat Islam di seluruh tanah Arab, dan yang merupakan suatu pendahuluan
lahirnya persatuan seluruh semenanjung di bawah naungan Islam, juga
sebagai suatu pendahuluan adanya persekemakmuran Islam yang terbentang
luas sekali. Ia telah menanamkan sebuah peradaban besar di dunia, yang
sampai sekarang masih dan akan terus mempunyai pengaruh yang dalam di
dalam jantung kehidupan dunia.
Bukan tidak mungkin orang akan
merasa kagum sekali bila mengetahui, bahwa, meskipun Muhammad sudah
begitu mengerahkan sahabat-sahabatnya dan mengharapkan terkikisnya musuh
Tuhan dan musuhnya itu, namun sejak semula terjadinya pertempuran ia
sudah minta kepada Muslimin untuk tidak membunuh Banu Hasyim dan tidak
membunuh orang-orang tertentu dari kalangan pembesar-pembesar Quraisy,
sekalipun pada dasarnya mereka akan membunuh setiap orang dari pihak
Islam yang dapat mereka bunuh. Dan jangan pula orang mengira, bahwa ia
berbuat begitu karena ia mau membela keluarganya atau siapa saja yang
punya pertalian keluarga dengan dia. Jiwa Muhammad jauh lebih besar
daripada akan terpengaruh oleh hal-hal serupa itu. Apa yang menjadi
pertimbangannya ialah, ia masih ingat Banu Hasyim dulu yang telah
berusaha melindunginya selama tigabelas tahun sejak mula masa
kerasulannya hingga masa hijrahnya, sampai-sampai Abbas pamannya ikut
menyertainya pada malam diadakan ikrar 'Aqaba. Juga jasa orang lain yang
masih kafir di kalangan Quraisy di luar Banu Hasyim yang menuntut
dibatalkannya piagam pemboikotan, yang oleh Quraisy dia dan
sahabat-sahabatnya dipaksa tinggal di celah-celah gunung, setelah semua
hubungan oleh mereka itu diputuskan. Segala kebaikan yang telah
diberikan oleh mereka masing-masing oleh Muhammad dianggap sebagai suatu
jasa yang harus mendapat balasan setimpal, harus mendapat balasan
sepuluh kali lipat. Oleh karena itu oleh Muslimin ia dianggap sebagai
perantara bagi mereka masing-masing selama terjadi pertempuran, meskipun
di kalangan Quraisy sendiri masih ada yang menolak pemberian
pengampunan itu seperti yang dilakukan oleh Abu'l-Bakhtari - salah
seorang yang ikut melaksanakan dicabutnya piagam. Ia menolak dan
terbunuh.
Dengan perasaan dongkol penduduk Mekah lari tunggang
langgang. Mereka sudah tak dapat mengangkat muka lagi. Bila mata mereka
tertumbuk pada salah seorang kawan sendiri, karena rasa malunya ia
segera membuang muka, mengingat nasib buruk yang telah menimpa mereka
semua.
Sampai sore itu pihak Muslimin masih tinggal di Badr.
Kemudian mayat-mayat Quraisy itu mereka kumpulkan dan setelah dibuatkan
sebuah perigi besar mereka semua dikuburkan. Malam harinya Muhammad dan
sahabat-sahabatnya sibuk di garis depan menyelesaikan barang-barang
rampasan perang serta berjaga-jaga terhadap orang-orang tawanan. Tatkala
malam sudah gelap Muhammad mulai merenungkan pertolongan yang diberikan
Tuhan kepada Muslimin yang dengan jumlah yang begitu kecil telah dapat
menghancurkan kaum musyrik yang tidak mempunyai perisai kekuatan iman
selain membanggakan jumlah besarnya saja. Dalam ia merenungkan hal ini,
pada waktu larut malam itu sahabat-sahabatnya mendengar ia berkata:
"Wahai
penghuni perigi! Wahai 'Utba b. Rabi'a! Syaiba b. Rabi'a! Umayya b.
Khalaf! Wahai Abu Jahl b. Hisyam! ..." - Seterusnya ia menyebutkan nama
orang-orang yang dalam perigi itu satu satu. "Wahai penghuni perigi!
Adakah yang dijanjikan tuhanmu itu benar-benar ada. Aku telah bertemu
dengan apa yang telah dijanjikan Tuhanku."
"Rasulullah, kenapa bicara dengan orang-orang yang sudah bangar?" kata kaum Muslimim kemudian bertanya.
"Apa yang saya katakan mereka lebih mendengar daripada kamu," jawab Rasul.
"Tetapi mereka tidak dapat menjawab."
Ketika itu Rasulullah melihat ke dalam wajah Abu Hudhaifa ibn 'Utba. Ia tampak sedih dan mukanya berubah.
"Barangkali ada sesuatu dalam hatimu mengenai ayahmu, Abu Hudhaifa"? tanyanya.
"Sekali-kali
tidak, Rasulullah," jawab Abu Hudhaifa. "Tentang ayah, saya tidak
sangsi lagi, juga tentang kematiannya. Hanya saja yang saya ketahui
pikirannya baik, bijaksana dan berjasa. Jadi saya harapkan sekali ia
akan mendapat petunjuk menjadi seorang Islam. Tetapi sesudah saya lihat
apa yang teriadi, dan teringat pula hidupnya dulu dalam kekafiran,
sesudah makin jauh apa yang saya harapkan dari dia, itulah yang membuat
saya sedih."
Tetapi Rasulullah menyebutkan yang baik tentang dia serta mendoakan kebaikan baginya.
Keesokan
harinya pagi-pagi, bila Muslimin sudah siap-siap akan berangkat pulang
menuju Medinah, mulailah timbul pertanyaan sekitar masalah harta
rampasan, buat siapa seharusnya. Kata mereka yang melakukan serangan:
kami yang mengumpulkannya; jadi itu buat kami. Lalu kata yang mengejar
musuh sampai pada waktu mereka mengalami kehancuran kalau tidak karena
kami, kamu tidak akan mendapatkannya. Dan kata mereka yang mengawal
Muhammad karena kuatir akan diserang musuh dari belakang: kamu sekalian
tak ada yang lebih berhak dari kami. Sebenarnya kami dapat memerangi
musuh dan mengambil harta mereka, ketika tak ada suatu pihakpun yang
akan melindungi mereka. Tetapi kami kuatir adanya serangan musuh kepada
Rasulullah. Oleh karena itu kami lalu menjaganya.
Tetapi
kemudian Muhammad menyuruh mengembalikan semua harta rampasan yang ada
ditangan mereka itu, dan dimintanya supaya dibawa agar ia dapat
memberikan pendapat atau akan ada ketentuan Tuhan yang akan menjadi
keputusan.
Muhammad mengutus Abdullah b. Rawaha dan Zaid b.
Haritha ke Medinah guna menyampaikan berita gembira kepada penduduk
tentang kemenangan yang telah dicapai kaum Muslimin. Sedang dia sendiri
dengan sahabat-sahabatnya berangkat pula menuju Medinah dengan membawa
tawanan dan rampasan perang yang telah diperolehnya dari kaum musyrik,
dan diserahkan pimpinannya kepada Abdullah b. Ka'b.
Mereka
berangkat. Sesudah menyeberangi selat Shafra', pada sebuah bukit pasir
Muhammad berhenti. Di tempat ini rampasan perang yang sudah ditentukan
Allah bagi Muslimin itu dibagi rata. Beberapa ahli sejarah mengatakan,
bahwa pembagian kepada mereka itu sesudah dikurangi seperlimanya sesuai
dengan firman Allah:
"Dan hendaklah kamu ketahui, bahwa rampasan
perang yang kamu peroleh, seperlimanya untuk Tuhan, untuk Rasul, untuk
para kerabat dan anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang yang
terlantar dalam perjalanan, kalau kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan pada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami pada hari yang
menentukan itu, hari, ketika dua golongan itu saling berhadapan. Dan
atas segala sesuatu Allah Maha Kuasa." (Qur'an, 8: 41)
Sebahagian
besar penulis-penulis sejarah Nabi berpendapat, terutama angkatan
lamanya - bahwa ayat tersebut turun sesudah peristiwa Badr dan sesudah
rampasan perang dibagi, dan bahwa Muhammad membaginya secara merata di
kalangan Muslimin, dan bahwa untuk kuda disamakannya dengan apa yang ada
pada penunggangnya, bagian mereka yang gugur di Badr diberikan kepada
ahli warisnya, mereka yang tinggal di Medinah dan tidak ikut ke Badr
karena bertugas mengurus keperluan Muslimin, dan mereka yang dikerahkan
berangkat ke Badr tapi tertinggal di belakang karena sesuatu alasan yang
dapat diterima oleh Rasul, juga mendapat bagian. Dengan demikian
rampasan perang itu dibagi secara adil. Yang ikut bersama dalam perang
dan mendapat kemenangan bukan hanya yang bertempur saja, melainkan yang
ikut bersama-sama dalam perang dan mendapat kemenangan itu ialah siapa
saja yang ikut bekerja kearah itu, baik yang di garis depan atau yang
jauh dari sana.
Sementara kaum Muslimin dalam perjalanan ke
Medinah itu, dua orang tawanan telah mati terbunuh, yakni seorang
bernama Nadzr bin'l-Harith dan yang seorang lagi bernama 'Uqba b. Abi
Mu'ait. Sampai pada waktu itu baik Muhammad atau sahabat-sahabatnya
belum lagi membuat suatu peraturan tertentu dalam menghadapi para
tawanan itu yang akan mengharuskan mereka dibunuh, ditebus atau
dijadikan budak. Tetapi Nadzr dan 'Uqba ini keduanya merupakan bahaya
yang selalu mengancam Muslimin selama di Mekah dulu. Setiap ada
kesempatan kedua orang ini selalu mengganggu mereka.
Terbunuhnya
Nadzr ini ialah tatkala mereka sampai di Uthail para tawanan itu
diperlihatkan kepada Nabi a.s. Ditatapnya Nadzr ini dengan pandangan
mata yang demikian rupa, sehingga tawanan ini gemetar seraya berkata
kepada seseorang yang berada di sampingnya:
"Muhammad pasti akan membunuh aku," katanya.
"Ia menatapku dengan pandangan mata yang mengandung maut."
"Ini hanya karena kau merasa takut saja," jawab orang yang di sebelahnya.
Sekarang Nadzr berkata kepada Mushiab b. 'Umair - orang yang paling banyak punya rasa belas-kasihan di tempat itu.
"Katakan
kepada temanmu itu supaya aku dipandang sebagai salah seorang
sahabatnya. Kalau ini tidak kaulakukan pasti dia akan membunuh aku."
"Tetapi dulu kau mengatakan begini dan begitu tentang Kitabullah dan tentang diri Nabi," kata Mushiab.
"Dulu kau menyiksa sahabat-sahabatnya."
"Sekiranya engkau yang ditawan oleh Quraisy, kau takkan dibunuh selama aku masih hidup," kata Nadzr lagi.
"Engkau tak dapat dipercaya," kata Mush'ab.
"Dan lagi aku tidak seperti engkau. Janji Islam dengan kau sudah terputus."
Sebenarnya
Nadzr adalah tawanan Miqdad, yang dalam hal ini ia ingin memperoleh
tebusan yang cukup besar dan keluarganya. Mendengar percakapan tentang
akan dibunuhnya itu ia segera berkata:
"Nadzr tawananku," teriaknya.
"Pukul lehernya," kata Nabi a.s. "Ya Allah. Semoga Miqdad mendapat karuniaMu."
Dengan pukulan pedang kemudian ia dibunuh oleh Ali b. Abi Talib.
Pada waktu mereka dalam perjalanan ke 'Irq'z-Zubya diperintahkan oleh Nabi supaya 'Uqba b. Abi Mu'ait juga dibunuh.
"Muhammad," katanya, "siapa yang akan mengurus anak-anak?"
"Api," jawabnya.
Lalu iapun dibunuh oleh Ali b. Abi Talib atau oleh 'Ashim b. Thabit, sumbernya berlain-lain.
Semangat dan Kemenangan
Sehari
sebelum Nabi dan Muslimin sampai di Medinah kedua utusannya Zaid b.
Haritha dan Abdullah b. Rawaha sudah lebih dulu sampai. Mereka
masing-masing memasuki kota dari jurusan yang berlain-lainan. Dan atas
unta yang dikendarainya itu Abdullah mengumumkan dan memberikan kabar
gembira kepada Anshar tentang kemenangan Rasulullah dan sahabat-sahabat,
sambil menyebutkan siapa-siapa dan pihak musyrik yang terbunuh. Begitu
juga Zaid b. Haritha melakukan hal yang sama sambil ia menunggang
Al-Qashwa', unta kendaraan Nabi. Kaum Muslimin bergembira ria. Mereka
berkumpul, dan mereka yang masih berada dalam rumah pun keluar
beramai-ramai dan berangkat menyambut berita kemenangan besar ini.
Sebaliknya
orang-orang musyrik dan orang-orang Yahudi merasa terpukul sekali
dengan berita itu. Mereka berusaha akan meyakinkan diri mereka sendiri
dan meyakinkan orang-orang Islam yang tinggal di Medinah, bahwa berita
itu tidak benar.
"Muhammad sudah terbunuh dan teman-temannya
sudah ditaklukkan," tenak mereka. "Ini untanya seperti sudah sama-sama
kita kenal. Kalau dia yang menang, niscaya unta ini masih di sana. Apa
yang dikatakan Zaid hanya mengigau saja dia, karena sudah gugup dan
ketakutan."
Tetapi pihak Muslimin setelah mendapat kepastian
benar dari kedua utusan itu dan yakin sekali akan kebenaran berita itu,
sebenarnya mereka malah makin gembira, kalau tidak lalu terjadi suatu
penstiwa yang mengurangi rasa kegembiraan mereka itu, yakni penstiwa
kematian Ruqayya puteri Nabi. Tatkala ditinggalkan pergi ke Badr ia
dalam keadaan sakit, dan suaminya, Usman b. 'Affan, juga ditinggalkan
supaya merawatnya.
Apabila kemudian temyata bahwa Muhammad yang
menang, mereka merasa sangat terkejut. Posisi mereka terhadap Muslimin
jadi lebih rendah dan hina sekali, sampai-sampai ada salah seorang
pembesar Yahudi yang mengatakan:
"Bari kita sekarang lebih baik
berkalang tanah daripada tinggal di atas bumi ini sesudah kaum
bangsawan, pemimpinpemimpin dan pemuka-pemuka Arab serta penduduk tanah
suci itu mendapat bencana."
Kaum Muslimin memasuki Medinah
sehari sebelum tawanan-tawanan perang sampai. Setelah mereka dibawa dan
Sauda bt. Zam'a isteri Nabi baru saja pulang melawati11 orang mati pada
kabilah Banu 'Afra', tempat asalnya, dilihatnya Abu Yazid Suhail b.
'Amr, salah seorang tawanan, yang kedua belah tangannya diikat dengan
tali ke tengkuk, ia tak dapat menahan diri. Dihampirinya orang itu
seraya katanya:
"Oh Abu Yazid! Kamu sudah menyerahkan diri. Lebih baik mati sajalah dengan terhormat!."
"Sauda!" Muhammad memanggilnya dan dalam rumah.
"Kau membangkitkan semangatnya melawan Allah dan RasulNya!"
"Rasulullah,"
katanya. "Demi Allah Yang telah mengutusmu dengan segala kebenaran.
Saya sudah tak dapat menahan diri ketika melihat Abu Yazid dengan
tangannya terikat di tengkuk sehingga saya berkata begitu."
Sesudah itu kemudian Muhammad memisah-misahkan para tawanan itu di antara sahabat-sahabatnya, sambil berkata kepada mereka:
"Perlakukanlah mereka sebaik-baiknya."
Hal
ini kemudian menjadi pikiran baginya, apa yang harus dilakukannya
terhadap mereka itu. Dibunuh saja atau harus meminta tebusan dari
mereka? Mereka itu orang-orang yang keras dalam perang, orang yang kuat
bertempur. Hati mereka penuh rasa dengki dan dendam setelah mereka
mengalami kehancuran di Badr, serta akibatnya yang telah membawa keaiban
sebagai tawanan perang. Apabila ia mau menerima tebusan, ini berarti
mereka akan berkomplot dan akan kembali memeranginya lagi; kalau dibunuh
saja mereka itu, akan menimbulkan sesuatu dalam hati keluarga-keluarga
Quraisy, yang bila dapat ditebus barangkali akan jadi tenang.
Ia
menyerahkan masalah ini ketangan sahabat-sahabat kaum Muslimin.
Diajaknya mereka bermusyawarah dan pilihan terserah kepada mereka.
Kalangan Muslimin sendiri melihat tawanan-tawanan ini ternyata masih
ingin hidup dan akan bersedia membayar tebusan dengan harga tinggi.
"Lebih
baik kita mengirim orang kepada Abu Bakr," kata mereka. "Dari kerabat
kita ia orang Quraisy yang pertama, dan yang paling lembut dan banyak
punya rasa belas-kasihan. Kita tidak melihat Muhammad menyukai yang lain
lebih dari dia."
Lalu mereka mengutus orang menemui Abu Bakr.
"Abu
Bakr," kata mereka. "Di antara kita ada yang masih pernah ayah,
saudara, paman atau mamak kita serta saudara sepupu kita. Orang yang
jauh dari kitapun masih kerabat kita. Bicarakanlah dengan sahabatmu itu
supaya bermurah hati kepada kami atau menerima penebusan kami."
Dalam
hal ini Abu Bakr berjanji akan berusaha. Tetapi mereka kuatir Umar
ibn'l-Khattab akan mempersulit urusan mereka ini. Maka mereka mengutus
beberapa orang lagi kepadanya, dengan menyatakan seperti yang dikatakan
kepada Abu Bakr. Tetapi Umar menatap mereka penuh curiga. Kemudian kedua
sahabat besar Muhammad ini berangkat menemuinya. Abu Bakr berusaha
melunakkan dan meredakan kemarahannya.
"Rasulullah," katanya.
"Demi ayah dan ibuku. Mereka itu masih keluarga kita; ada ayah, ada anak
atau paman, ada sepupu atau saudara-saudara. Orang yang jauh dari
kitapun masih kerabat kita. Bermurah hatilah kita kepada mereka itu.
Semoga Tuhan memberi kemurahan kepada kita. Atau kita terimalah tebusan
dari mereka, semoga Tuhan akan menyelamatkan mereka dari api neraka.
Maka apa yang kita ambil dari mereka akan memperkuat kaum Muslimin juga.
Semoga Allah kelak membalikkan hati mereka."
Muhammad diam, tidak menjawab. Kemudian ia berdiri dan pergi menyendiri. Oleh Umar ia didekati dan duduk di sebelahnya.
"Rasulullah,"
katanya. "Mereka itu musuh-musuh Tuhan. Mendustakan tuan, memerangi
tuan dan mengusir tuan. Penggal sajalah leher mereka. Mereka inilah
kepala-kepala orang kafir, pemuka-pemuka orang yang sesat. Orang-orang
musyrik itu adalah orang-orang yang sudah dihinakan Tuhan."
Juga Muhammad tidak menjawab.
Sekarang
Abu Bakr kembali ke tempat duduknya semula. Begitu lemah-lembut ia
bersikap sambil mengharapkan sikap yang lebih lunak. Disebutnya adanya
pertalian famili dan kerabat, dan kalau para tawanan itu masih hidup,
diharapkannya akan mendapat petunjuk Tuhan. Sedang Umar kembali
memperlihatkan sikapnya yang adil dan keras. Baginya lemah-lembut atau
kasihan tidak ada.
Selesai Abu Bakr dan Umar bicara, Muhammad
berdiri. Ia kembali ke kamarnya. Ia tinggal sejenak di sana. Kemudian ia
kembali keluar. Orang ramai segera melibatkan diri dalam persoalan ini.
Satu pihak mendukung pendapat Abu Bakr, yang lain memihak kepada Umar.
Nabi mengajak mereka berunding, apa yang harus dilakukannya. Lalu
dibuatnya suatu perumpamaan tentang Abu Bakr dan Umar. Abu Bakr adalah
seperti Mikail, diturunkan Tuhan dengan membawa sifat pemaaf kepada
hambaNya. Dan dari kalangan nabi-nabi seperti Ibrahim. Ia sangat
lemah-lembut terhadap masyarakatnya. Oleh masyarakatnya sendiri ia
dibawa dan dicampakkan ke dalam api. Tapi tidak lebih ia hanya berkata:
"Cih! Kenapa kamu menyembah sesuatu selain Allah? Tidakkah kamu berakal?" (Qur'an, 21: 67)
Atau
seperti katanya: "Yang ikut aku, dia itulah yang di pihakku. Tapi
terhadap yang membangkang kepadaku, Engkau Maha Pengampun dan
Penyayang." (Qur'an. 14: 36)