Abu Bakar lebih utama dari kamu semua bukan disebabkan banyaknya sembahyang
dan banyaknya puasa, tapi karena sesuatu yang bersemayam di hatinya.”
(Hadis Riwayat at-Tirmidzi dan Imam Ghazali di Ihya’ Ulumuddîn)
Setiap malam Jum'at, selesai sholat isya, tubuh yang dibalut
jubah kasar itu duduk berzikir. Kepalanya menunduk sangat rendah sampai
menyentuh lutut. Begitu khusyuk dan khidmat, tidak sedikit pun bergerak
untuk mendongak. Menjelang fajar terbit, kepalanya baru diangkat,
menghela nafas yang panjang dan tersendat-sendat. Seluruh aroma di
ruangan itu berubah. Tercium bau hati yang terpanggang.
Itulah ibadah khusus Abu Bakar Radhiallâhu’anhu yang diceritakan oleh
isteri beliau setelah mendapat permintaan dari Umar bin al-Khatthab.
Umar menitikkan air mata, terharu mendengar cerita dari isteri
pendahulunya itu. “Bagaimana putra al-Khatthab bisa mendapatkan hati yang
terpanggang,” ujarnya. Hati yang terbakar oleh rasa takut melihat
kebesaran Allah, terbakar oleh rasa cinta kerana memandang keindahan
Allah, juga terbakar oleh harapan yang memuncak akan belas kasih Allah.
Abu Bakar ash-Siddiq r.a dinobatkan sebagai orang terbaik dari
kalangan umat Rasulullah Muhammad SAW. Rasulullah SAW juga menobatkannya
khalîl atau kekasih terdekat bagi beliau. Faktor utamanya bukan karena
banyaknya amal yang beliau lakukan, tapi karena hatinya. Hatinya
diserahkan khusus untuk Allah dan Rasul-Nya.
Pada saat Rasulullah SAW mengumumkan agar kaum Muslimin menyumbangkan
harta mereka untuk dana perang menentang tentera Romawi di Tabuk, Abu
Bakar membawa seluruh hartanya kepada Rasulullah SAW.
“Apa yang engkau tinggalkan untuk keluargamu?” tanya Rasulullah kepada Abu Bakar.
“Allah dan Rasul-Nya?” jawab Abu Bakar tanpa keraguan sedikit pun.
Inilah ketulusan hati Abu Bakar.
“Orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dengan sepenuh hati tak
meninggalkan apa pun melainkan apa yang ia cintai,” demikian disebut
oleh Imam al-Ghazali tentang kisah beliau ini.
Ketulusan sepenuh hati itu membawa Abu Bakar SAW menjadi orang yang
paling makrifat kepada Allah di antara umat Rasulullah SAW yang lain.
Abu Bakar Radhiallâhu’anhu mengorbankan segalanya untuk Allah dan
Rasulullah SAW hingga, hidupnya begitu miskin setelah mengucapkan ikrar
Islam di hadapan Rasulullah padahal, sebelumnya Abu Bakar adalah
saudagar yang disegani di Quraisy.
Abdullah bin Umar bercerita: Suatu ketika Rasulullah SAW duduk. Di
samping beliau ada Abu Bakar memakai jubah kasar, di dadanya
ditutupi dengan tambalan. Malaikat Jibril turun menemui Rasulullah SAW
dan menyampaikan salam Allah kepada Abu Bakar. “Hai Rasulullah, kenapa
aku lihat Abu Bakar memakai jubah kasar dengan tambalan penutup di
bagian dadanya?” tanya Malaikat Jibril.
“Ia telah menginfakkan hartanya untukku sebelum Penaklukan Makkah.”
Sabda beliau “Sampaikan kepadanya salam dari Allah dan sampaikan
kepadanya: Tuhanmu bertanya: Apakah engkau rela dengan kefakiranmu ini
ataukah tidak rela?”
Rasulullah SAW menoleh kepada Abu Bakar. “Hai Abu Bakar, ini Jibril
menyampaikan salam dari Allah kepadamu, dan Allah bertanya: Apakah
engkau rela dengan kefakiranmu ini ataukah tidak rela?”
Abu Bakar menangis: “Apakah aku akan murka kepada (takdir) Tuhanku!?
(Tidak!) Aku ridho dengan (takdir) Tuhanku, Aku redha akan (takdir)
Tuhanku.”
Semua miliknya habis dikorbankan untuk Allah dan Rasulullah SAW.
Inilah cinta yang hakiki. Cinta yang mengorbankan segalanya untuk
Sang Kekasih, dia tak memerlukan apa-apa lagi selain Dia di hatinya.
“Orang yang merasakan kemurnian cinta kepada Allah, maka cinta itu akan
membuatnya berpaling dari pencarian terhadap dunia dan membuatnya merasa
tidak asyik bersama dengan segenap manusia.” Demikian untaian kalimat
tentang tasawuf cinta yang pernah terucap dari mulut mulia Sayidina Abu
Bakar ash-Shiddiq r.a.
Oleh kerana itu, Sayidina Abu Bakar r.a memilih zuhud sebagai jalan
hidup utama beliau. Dunia bukanlah tujuan utama yang hendak dinikmati,
tapi godaan yang harus dihindari. Faktor utama yang menyebabkan manusia
lupa kepada Allah adalah kesukaannya terhadap hal-hal duniawi.Faktor
utama yang menyebabkan manusia mendurhakai Allah juga adalah cinta
dunia. Cinta atau gila dunia merupakan ibu dari segala kesalahan yang
dilakukan manusia